Feodalisme Dulu dan Sekarang

Istilah feodalisme mengacu pada kalangan aristokrat atau keluarga raja di Inggris abad keemasan saat negara ini menjadi imperialis dan adi daya dunia. Istilah ini dalam level yg lebih lokal mengarah pada kalangan ningrat atau priyayi di Indonesia; khususnya kalangan suku Jawa yg oleh Cliffort Geertz (dalam bukunya Priyayi, Santri dan Abangan) dibagi ke dalam tiga kasta seperti yg tertulis dalam judul bukunya.

Orang yg berasal dari kalangan aristokrat atau ningrat ini disebut kalangan feodal dg ciri khas sifat dan sikapnya yg feodalistik. Apa itu feodalisme, feodal, dan feodalistik?

Feodalisme dulu ditunjukkan dg sikap jumawa bagai raja, permaisuri, putri dan pangeran. Sikap angker kalangan ningrat. Sikap anggun dan kecongkakan terutama pada kalangan rakyat jelata yg dianggap kastanya berada satu level di bawahnya, baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat berwarna merah kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan lingkungan pergaulan).

Dulu, sikap semacam ini dapat dimaklumi. Karena sistem sosial memang membagi umat manusia dalam dua kelas: kelas raja atau pamong praja (government) dan kelas rakyat jelata (the governed). Pengkotakan ini berlaku selamanya. Artinya, kalangan pamong praja akan seterusnya secara turun temurun menjadi pemerintah; sementara kalangan rakyat akan selamanya menjadi abdi, punakawan yg diharuskan untuk selalu tunduk dan sembah sungkem pada kalangan pamong praja. Negara, dalam sistem ini, adalah milik kalangan ningrat yg berdarah biru; dan adalah kewajiban rakyat berdarah merah coklat tua itu untuk tunduk dan selalu bertekuk lutut di depan kaki para ningrat.

***

Itu dulu. Sekarang, sistem sosial telah berubah. Spirit demokrasi yg dihembuskan oleh revolusi Perancis dan konstitusi Amerika dg jargon fraternity (persaudaraan), equality dan freedom telah merubah semuanya. Bangsa-bangsa seluruh dunia pun menyambut spirit nilai luhur ini dg gegap gempita. Terutama mereka yg berasal dari kalangan darah merah tua. Sementara dari kalangan darah biru berkilau terpaksa menerima walau dg hati yg amat terpaksa.

Hal terpenting dari spirit ini adalah: bahwa manusia dilahirkan sama dan tanpa kasta. Siapapun berhak dan mendapat kesempatan untuk berkompetisi. Pemerintah selalu diperlukan adanya. Akan tetapi, ia tak lebih dari seorang manajer tanpa status sosial yg lebih tinggi dari rakyat. Karena kekuasaan pada hakikinya di tangan rakyat. Dg demikian, rakyat berhak dan sangat berhak untuk mengingatkan penguasa apabila rakyat merasa sikap dan kebijakan penguasa tidak sesuai dg amanah rakyat atau rakyat menganggap adanya penyelewengan penguasa dalam menjalankan roda manajemen negara.

Spirit dari pola pikir demokrasi ini pada gilirannya menuntut penguasa, suka atau tidak suka, untuk menerima dg lapang dada segala kritik dari rakyat. Jadi tidak hanya mengharap pujian dan sesembahan dari rakyat. Di samping itu, kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah sementara. Mereka yg berkuasa saat ini akan menjadi rakyat biasa tidak lama lagi dan yg sekarang jadi rakyat akan menjadi penguasa pada dekade ke depan.

Apabila kalangan penguasa saat ini tipis kupingnya dg kritikan rakyatnya; mudah marah mendengar senandung yg tak sesuai dg lagu pengantar tidur yg biasa didengarnya waktu kecil; berkobar hatinya setiap melihat sikap oposan; lalu, apa bedanya penguasa Indonesia dg sistem demokratik saat ini dg para penguasa feodal jaman doeloe? Apa bedanya sikap mereka ini dg sikap para punggawa jaman Ken Arok dan Tunggul Ametung? Jaman ketika sistem dan pola pikir feodalistik sedang dalam puncak keemasannya.

Era demokrasi adalah era di mana warna darah sang penguasa dan rakyat tidak berbeda.
Sama biru berkilaunya atau sama merah tuanya. Tidak ada alasan bagi penguasa untuk selalu minta disembah dan, pada waktu yg sama, sungguh tak patut bagi rakyat di negara demokratis untuk menyembah-nyembah. Apresiasi hendaknya berdasarkan pada “kemanusiaannya”, bukan karena jabatannya.

Saya kira, sudah saatnya siapapun yg sedang menjabat saat ini memberi contoh yg baik bagaimana menjadi pejabat dg spirit demokrasi: berlapang dada ketika dikritik apabila terdapat kebenaran dalam kritikan itu dan mengingatkan rakyat apabila ada sikap rakyat yg tampak tidak mencerminkan spririt demokrasi seperti sikap menjilat dan berbungkuk-bungkuk di depan penguasa. Apabila ini terjadi, penguasa tsb akan diingat orang dalam sejarah demokrasi di Indonesia sebagai salah satu pelopor spirit demokrasi; bukan sebagai penerus status quo feodalisme keningratan yg dalam konteks dunia saat ini sudah sangat kampungan dan NORAK. ***

3 Comments

  1. dari beberapa uraian yg sudah dikemukakan oleh yang punya blog dan bp.Warto, dapat disimpulkan bahwa feodal scara umum dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang dipegang oleh satu orang atau lebih yang memiliki kekuasaan.

    NB: Kalau saya salah tolong koreksi ya
    Trims

    Suka

  2. Feodalisme yang berkembang di Indonesia/Jawa berbeda dengan di Barat. Feodalisme di Barat hanya terbatas pada sistem yang mengatur hubungan antara tuan tanah dan petani penggarap. Hubungan ini sangat rasional dan terbatas pada hal-hal yang bersifat ekonomis. Meski demikian, dalam struktur sosial politik yang timpang, petani subordinat terhadap Tuan Tanah (bangsawan) sehingga mereka hanya mempunyai kebebasan secara terbatas. Kekuasaan raja tak terbatas yang ditopang oleh birokrasi dan militer yang kuat untung menjaga dan melanggengkan kepentingannya. Intinya, sistem feodalisme berkembang di dalam struktur kekuasaan yang otoriter di mana hubungan tuan-hamba sangat timpang dan eksploitatif.
    Feodalisme di Jawa dibungkus dalam sistem kekuasaan yang juga otoriter. Legitimasi dan kekuasaan raja diperoleh melalui kesaktian dan simbol-simbol yang melekat pada dirinya. Raja dicitrakan sebagai titisan dewa yang mempunyai kekuasaan tak terbatas. Sebagai gusti ia berhak mememerintahi kawula secara tak terbatas. Jaringan birokrasi dibangun melalui klusi dan nepotisme. Semua pegawai kerajaan digaji dengan tanah dan tanah ini lalu diserahkan kepada petani untuk digarap. Setiap musim panen atau tiap tahun petani harus menyerahkan hasilnya kepada bangsawan (para patuh) atau raja. Inilah yang disebut dengan sistem apanage. Sistem ini baru dihapuskan pada awal abad ke-20 di wilayah Swapraja (vorstenlanden). Yang penting dicatat, sistem feodalisme di jawa didasarkan pada kosmologi kekuasaan jawa yang bersumber pada paham dewa-raja kultus. Hubungan tuan-hamba bukan sekedar pada hubungan produksi/ekonomi, melainkan juga meliputi hubungan sosio-kultural. Dalam kosepsi jawa, kekuasaan itu tak tersentuh, misteri, tertutup, sakral, sehingga tidak boleh dikontrol. Kawula atau rakyat tidak dibenarkan melakukan kritik terhadap kekuasaan raja karena kekuasaan itu berasal dari dewa/tuhan. bagi yang nekat, akibatnya akan mendapatkan sengsara atau kuwalat (kutukan).
    Kultur feodalisme yang demikian kuat mengakar sulit dihilangkan, meskipun struktur dan sistem kekuasaan telah berubah. Dalam sejarah Indonesia modern ditunjukkan betapa anasir-anasir budaya feodal masih sering muncul ke permukaan dalam praktik bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Muncullah istilah neo-feodalisme untuk menjelaskan perilaku birokrasi dan elit politik yang berlagak seperti bangsawan masa lalu yang berperan sebagai “pangreh praja”.

    Suka

Tinggalkan komentar