Misi AS: Demokratisasi atau Fundamentalisasi?

06 Sep 04 11:49 WIB WASPADA Online

Oleh A Fatih Syuhud *

Pesan dari Kovensi Partai Demokrat di Boston bulan lalu sangat jelas.
Demokrat Amerika murni tidak lagi eksis. Capres John Kerry mencoba
sebisanya bersikap seperti Republikan baru. Mengatasi soal Irak
dengan tegang dan detail. Kita akan berperang di Irak dengan lebih
baik.

Perilaku Partai Demokrat tidak mengejutkan – kalangan konservatif dan
liberal memiliki asumsi yang sama. Mereka yang membenci George Bush,
menyukai Michael Moore dan terperanjat menyaksikan skandal pelecehan
di penjara Abu Ghuraib juga percaya bahwa walaupun mungkin salah
menginvasi Irak, “perang ide” jelas sedang terjadi antara Barat
yang “beradab” dan peradaban “lain” (Islam di antaranya) yang
terbelakang.
Pertama dipromosikan oleh neokonservatif setelah 11/9, teori perang
ide menyatakan bahwa Barat bertempur melawan ortodoksi abad
pertengahan, keimanan buta dan fanatisme agama. Pertempuran ini
berdasarkan logika, pemisahan sekuler antara Gereja dan Negara,
demokrasi, kebebasan dan kehidupan modern dua atau tiga ratus tahun
lalu. Islam dan masyarakat oriental lain (India dan China) belum
bertempur dengan peradaban dari dalam; mereka belum menciptakan
seorang Voltaire, Diderot atau Rousseau.

Dilema yang terjadi memang ada – ia menyangkut bagian besar pemikiran
populasi Barat dan bahkan kalangan intelektual modernis sekuler
Timur. Kelompok ini lupa satu poin penting: peradaban-peradaban Timur
tidak pernah mengalami kehidupan seperti yang terjadi pada agama
Kristen abad pertengahan. Yakni, pemberontakan kalangan puritan
melawan kepausan (papacy) dan kalangan rasionalis melawan purist yang
menciptakan perubahan revolusioner di Eropa dan Amerika Utara.
Kristen abad pertengahan bagaikan pasar takhayul dan dekadensi di
mana hanya ada sedikit ruang bagi terjadinya inovasi dari dalam.

Sebaliknya, Islam memiliki sistem ijtihad (pemikiran independen).
India dan China kuno juga memiliki sistem filosofi rasional dan
perilaku sosial dalam tubuh keyakinan agama. Lagi pula, pergulatan
antara ortodoksi dan inovasi progresif adalah tema yang konstan.
Islam memiliki Muktazilah (rasionalis) pada abad ke-10. Empirium
Islam menciptakan banyak saintis, sarjana dan filosof seperti Ibnu
Sina (980-1037), Ibnu Rushdi (1126-1198), Al Farabi (870-950) dan Al
Kindi. Dikenal sebagai Avicenna di Barat, Ibnu Sina menjadi peletak
dasar kedokteran modern. Ibnu Rushdi menemukan kembali mutiara Plato
dan Aristotle; Al Kindi dan Al Farabi membuat terobosan baru di
bidang hidrolik dan menemukan simfoni, tonggak dasar musik klasik
barat.

Keempat sarjana ini hanya mewakili spektrum kecil kalangan
intelektual yang menciptakan kebangkitan dan pencerahan Islam.
Masyarakat barat waktu itu masih barbar, penuh takhayul dan fanatik.
Kebangkitan Islam menjadi peletak dasar kebangkitan Barat – hal yang
diakui oleh Dante, bapak kebangkitan barat.

Setiap orang tahu bahwa sains modern berkembang melalui konsep helio-
sentrik alam. Seandainya Galileo tidak menentang ide geosentrik
alamnya Kristen, niscaya Barat masih berkutat dengan anggapan absurd
bahwa matahari berputar mengitari bumi. Tetapi apakah Galileo helio-
sentris pertama? “Bumi berotasi di porosnya (QS 27:48); bumi berotasi
mengelilingi matahari (QS 7:54). Kutipan ayat Quran ini mendahului
teori Galileo delapan ratus tahun. Quran juga menyebutkan: “Langit
itu melebar (QS 51:47)”. Sejumlah gambar yang diambil oleh Edwin
Hubble di observatorium Mount Wilson pada 1929 menunjukkan terjadinya
pelebaran alam, yang mengarah pada teori Bing Bang. Quran
mengantisipasi hal ini 14 abad lalu. Tidak sebagaimana Quran, Injil
melawan interpretasi sekuler. Oleh karena itu, kalangan rasionalis
Barat harus memutuskan diri dari agama. Kalangan liberal barat
kontemporer mendesak muslim moderat untuk melakukan hal yang sama.
Tetapi mengapa mesti memecah agama sedangkan Islam tidak seperti
Kristen dan justru mendorong penggunaan akal? Begitu pula, India
Brahma, bahkan sebelum Islam, sudah mengenal bahw alam bersifat helio-
sentrik. Kalangan avonturir Arab dan Iran menyaring pengetahuan yang
pada dasarnya didapat dari India, Cina dan peradaban pagan barat
klasik. Berbeda dengan Barat, orang Arab dan Iran tidak pernah
menyembunyikan sumber-sumber asal mereka. Aljabar (algebra) disebut
Al Hind (India) dan resep Arab disebut pengobatan Yunani. Selama era
abad pertengahan adalah Bhava Misra yang mengajukan teori sirkulasi
darah, jauh sebelum William Harvey. Ide demokratik dalam bentuk yang
kita kenal sekarang sebenarnya diekspresikan pertama kali oleh Kaisar
Islam India dalam karyanya Sulh-I-Kul (damai dan persaudaraan untuk
semua). Ide persamaan sosial, kebebasan individual dan revolusi
petani semuanya pernah dibahas dalam bahasa lokal oleh reformis
sosial India semacam Shah Waliullah, Pandit Jagannath dan lain-lain.
Permainan yang dimainkan oleh Barat adalah untuk menolak Timur dari
sains dan rasionalitasnya sendiri. Ia juga semakin terlibat dalam
menciptakan fundamentalisme Islam modern dan berbagai bentuk fasisme
lain, yang membuat Timur terus tak peduli pada masa lalu dan
kontemporernya. Kelompok konservatif Barat sebenarnya ingin
membangkitkan kembali fanatisme Kristen yang “tercerahkan” ke Timur.
Apabila George Bush hendak memerangi tirani dan praduga di Timur
Tengah, megnapa pasukan AS di Irak dipaksa membawa Injil dan bukan
karya-karya Muktazilah, Ibnu sina atau bahkan karya rasionalis
semacam Benjamin Franklin atau Thomas Paine?

Saat ini, modernis Timur yang setengah jadi muncul sebagai tokoh pro-
Barat. Kekuatan anti-Barat, sebagai tanggapan, menggunakan fanatisme
buta. Skenario yang akan terjadi sungguh menakutkan. Apabila Barat
tidak menggunakan jalan dan cara lokal menuju pencerahan Asia dan
Timur, maka yang akan terjadi adalah kemenangan barbarisme baik di
Timur maupun di Barat.***

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University,
India.


Tinggalkan komentar