Bung Karno dan SBY

Presiden Sukarno dalam biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Gunung Agung, Jakarta, 1980), bertutur pada Cindy Adams, sang penulis biografi presiden pertama RI itu, bahwa keputusan untuk menjadi presiden seumur hidup adalah semata-mata kehendak DPR. Bukan kehendaknya. Alasannya, karena tidak ada satupun figur yg pantas menjadi penggantinya.

Bung Karno, yg akrab dipanggil BK, adalah pribadi dg berbagai predikat istimewa: negarawan ulung, founding father Indonesia, pemikir, filsuf, dan kehidupan masa mudanya yg aktif dalam gerakan pro kemerdekaan membuat dia juga dikenal sebagai seorang yg egaliter. Dialah inventor istilah Bung dan tradisi pake peci hitam yg
umumnya dipakai “kalangan wong cilik” dan sekarang menjadi mentradisi di kalangan pejabat dan para ustadz (soal ini silahkan merujuk ke biografi di atas).

Namun, kehidupan yg penuh pemujaan (baca: penjilatan) oleh orang-orang di sekitarnya membuat sosok sekaliber dia tidak tahan. BK tidak lagi konsisten dg prinsip-prinsip perjuangannya. Kebebasan pers diberangus, tokoh-tokoh yg tak dia sukai ditahan termasuk kalangan budayawan dan agama seperti Buya Hamka dan Mochtar Lubis.

Cerita singkat saya di atas hanya ingin mengingatkan bahwa bagaimanapun senangnya kita pada sosok seorang presiden (sebagai representasi dari kalangan eksekutif/pejabat/birokrat), pada kebijakannya atau pada kepribadiannya, kita tetap perlu bersikap kritis. Kritis tidak berarti selalu menyalahkan; ia juga bermakna apresiasi kalau memang ada yg perlu diapresiasi.

Yg jelas, mengkritisi dan mengapresiasi harus disesuaikan dg realitas dan apa adanya. Kritis, dalam konteks menyikapi kebijakan presiden, bermakna bahwa kita sudah betul-betul well-informed pada plus minus seluruh atau sebagaian besar kebijakannya. Tentunya dg banyak membaca informasi yg terkait. Sebab tanpa itu,
pujian/apresiasi atau kritikan kita; akan terkesan parsial at least or stupid at best. Dan kalau ini terjadi, yg menjadi korban adalah kredibilitas kita sendiri.

Di sisi lain, pemujaan yg membuta selain “kurang baik buat kesehatan rohani diri sendiri,” juga akan berdampak tak baik bagi yg dipuji. Kalau BK yg kredibilitas egalitarian dan demokratiknya yg tinggi saja dapat “terhanyut” dan lupa pada perjuangan awal gara-gara orang-orang sekitarnya termasuk rakyatnya yg tak kritis, bagaimana dg SBY yg tidak dikenal memiliki integritas seperti itu.

Memuji memang enak, tak ada resiko. Terkadang malah menguntungkan, terutama kalau yg “dipuji” (saya tak mau memakai istilah menjilat, istilah ini kurang elegan) adalah pejabat yg memang menikmatinya . Tapi, kalau sikap seperti ini tetap dibudayakan, saya kuatir akan masa depan demokrasi di negara kita. Tidak akan
ada lagi penghargaan pada perbedaan pendapat. Dan akhirnya, semua “mulut” yg bersuara berbeda akan ditutup, dan yg punya mulut pun akan masuk penjara. Persis seperti yg terjadi pada era BK.

To sum it up, bagi saya mengapresiasi SBY atau siapapun adalah dg memujinya kalau ada yg perlu dipuji, dan mengkritisinya kalau memang ada yg pantas dikritisi kebijakannya.***

4 Comments

  1. Kita sebagai warga negara yang baek harus wajib menghormati siapa ja kepala negara kita. Jadi presiden tuch kerjaan na repot banget. Banyak urusan. Banyak pikiran. Saya sebagai rakyat biasa cuma bisa berharap mudah2 an sby bsa meneruskan perjuangan bung karno.
    Pemimpin negara tuch harus menganggap dirinya bkn penguasa, tapi sebagai pengabdi negara.
    Thanks for bung karno n’ sby…
    Mas fatih met berjuang jg y lwt ngblog na.

    Suka

Tinggalkan komentar